Jumat, 18 Juli 2025

Dilema Gigs Seharga Sebungkus Rokok Sampoerna Mild






Malam itu hujan datang dengan slengean, kota Jakarta yang seharusnya lebih panas dari komentar netizen TikTok tiba-tiba berubah jadi lebih dingin dari AC di Vol Bottlebar pukul 1 pagi. Hawa dingin dan sebotol intisari yang sisa empat kali tegukkan itu membanjiri gue pada keresahan yang jadi dilema bagi semua pegelut skena musik di Indonesia, khususnya di Jakarta dan Bekasi. Yaitu kenapa rasanya scene underground lokal selalu kepentok budget!

Gak cuma satu, dua, tiga, atau berapa belas kali gue dateng ke gigs lokal. Datang sebagai penampil atau penonton, terkesima dengan produksian kawan-kawan. Berhasil menghadirkan output suara lean and clean, ornamen panggung yang catchy, dan tetek-bengek lainnya. Line up pengisi gak asal comot, band-band fresh (yang tentunya bagus) ikut berbagi aksi panggung. Gue gak ngomong kalau ini cuma band Jakarta-Bekasi ya, bray. Ada juga band dari luar Jabodetabek yang kadang ikut main dan meramaikan acara, datang dengan ongkos dari kantongnya sendiri. Namun, turut disayangkan penontonnya itu-itu lagi, konco lagi, dia lagi, lu lagi, dan pacar lu lagi. Akibatnya? Pemasukan sangatlah minim, band dan pergerakan kolektif ini bak kuah soto sisa kemarin malam, dingin dan tak lagi berasa. Tinggal tunggu dibuang. Tinggal tunggu dijadikan bahan bercandaan aja. 

Kondisi ini kalau dijabarkan sebenernya sangat sederhana dan rumit di waktu yang bersamaan. Di mana band-band kecil seperti band gue (Vanilla Party) butuh banget exposure untuk memamerkan karya teranyarnya. Namun alangkah sial nasibku, kita malah terlihat seperti pengemis digital yang butuh panggung dan angka di Instagram. Sementara panggung yang didamba datang dua bulan sekali, layaknya promo Butterscotch Sea Salt di Fore. Masalahnya bukan karena bandnya jelek, bukan karena acaranya bobrok, bukan karena pergerakannya yang menyedihkan, tapi karena kawan-kawan penggerak kolektif kehabisan modal di awal setelah uang tiket bulan lalu lagi dan lagi gagal nutup biaya produksi. Akhirnya pergerakan ini sekarat, bahkan sudah sekarat sebelum band pertama check sound di jam 2 siang. 

Namun, kalau dipikir-pikir, sebenarnya ini semua bisa disiasati dengan mengundang konco yang punya band supaya modal awalnya nol rupiah, alias gratis, tinggal plug and play. Kolektif jalan, band juga jalan, bisa mendapatkan exposure! Semua senang? Iya, di awal aja. Beberapa bulan kedepan, bandnya akan ikut mati perlahan. Sekarat. Gak punya modal untuk biaya produksi dan mixing-mastering karya berikutnya. Alah, tai anjing! Gak usah ngomongin biaya produksi karya berikutnya, modal untuk sewa studio latihan aja gak punya.  

Masalah ini bukan diciptakan karena sikap idealis gue, lu, dan kita semua yang berpikir bahwa pergerakan ini akan kian terlihat kalcer jika terus dibuat eksklusif. Ini adalah masalah struktural. Nyaris mustahil untuk dirombak dari awal. Kayak... coba deh pikirin, gimana caranya nyewa venue dengan harga yang bisa dibilang sebelas-dua belas dengan harga sewa indekos di wilayah Jalan Bangka, Jakarta Selatan. Oke, anggaplah uang sewa venue udah ketutup, lalu gimana dengan produksiannya? Set drum? ampli? mixer? sepasang speaker output + subwoofer? Menurut lu, vendor terima barter exposure? terus jalan keluarnya gimana?





"Ya, kenapa ga coba pake sponsor aja pak?"

Wah, ide bagus. Belum pernah terlintas sebelumnya! Sekarang kita garap deck presentasi ke sponsor rokok dan minuman beralkohol untuk bulan depan. Setelah itu apa, bray? Sponsor mau danain acara gigs grassroots yang ga bikin profit, ga komersil, yang tujuan utamannya adalah menghidupkan skena musik underground dan band-band potensial? Bakal bagus banget kalau banyak sponsor yang emang mau bakar uang untuk naikin nama. Namun masalahnya tim marketing dan finance mereka jauh lebih pilih panggung dengan backdrop LED segede gaban untuk placement logo terbaik mereka, ketimbang sebuah set panggung mungil disela-sela ruko Pasar Santa. Sekarang balik lagi ke awal. Adakah sponsor? Adakah banyak?

Keadaan serba DIY ini sukses memaksa kita semua menjalankan acara dengan budget minim, alhasil audience menilai kalau budget minim = harga tiket juga harus minim. Bahkan yang lebih tai adalah para abang-abangan yang ngerasa memiliki privilege, ngerasa memiliki koneksi, ngearasa konco kental dengan kita, pemain band dan penyelenggara. ngerasa bahwa ini sekedar acara 'anak-anak' yang ujung-ujungnya minta tiket gratis. "Toh kalo bisa gratis, kenapa gak gratis? Kan buat anak-anak juga."

Kondisi yang berantakan seperti gigi mas Bahlil ini bikin gue, penonton lain, band kecil lain, dan kolektif lain perlahan mati. Ironis? Tentu. Semuanya jadi nyaris tenggelam di kolam yang sama, kolam yang seharusnya menjadi tempat mencari air segar untuk diminum setiap hari, minggu, atau bulannya. Padahal relasi antara band, penonton, dan penyelenggara gigs ini merupakan sebuah relasi kuat. Namun saling tarik menarik, berebut napas. 

Teramat sayang, masalah struktural ini harus terus eksis di lingkungan scene musik Indonesia. Menjadi dilema. Karena hati kecil gue sangatlah yakin, spiral setan ini akan bikin para pelaku males jalanin project dan panggungan karena gak dapet pemasukan, kolektif sekarat yang akhirnya akan mati suri karena gak ada band yang bisa diundang, vocalist baru akan sibuk memamerkan karyanya di kamar mandi karena tidak punya media untuk menyalurkannya, scene yang akan berjalan gitu aja tidak ada regenerasi. Akhirnya yang naik ya itu lagi, dia lagi, yang udah punya nama lagi. Miris, tapi yaaa mau gimans?

Mari kita setuju (untuk tidak setuju). Anggaplah band-band kecil yang belum punya nama ini memang seharusnya cukup diupah menggunakan seporsi nasi padang dengan lauk 'exposure' yang sejatinya tidak begitu terang juga dari sang penyelenggara. Pertanyaan gue selanjutnya adalah: Kapan bayaran 'exposure' tidak lagi cukup untuk band itu? Apa barometernya? Listener di spotify? Followers instagram? Atau apa? Berangkat dari sini, gue malah makin bertanya-tanya, haruskah musisi/band dibayar walaupun audience-nya cuma nyentuh 15 orang yang kebetulan isinya juga masih 'anak-anak'? Atau gimana sih cara tetap menegakkan idealisme kolektif dan perjuangan scene underground yang amat jauh dari mata dan spotlight orang-orang walaupun terhimpit dengan kondisi finansial? You tell me. 

Di penghujung malam itu, akhirnya intisari yang gue minum habis tanpa tersisa. Namun harapan gue terhadap scene ini akan terus menggenang. Gak usah muluk-muluk, cukup diberi kesempatan melihat movement ini hidup tanpa perlu merogoh kantong pribadi. Karena pada dasarnya semua pelaku butuh uang untuk produksi, "Balik modal aja udah alhamdulillah, apalagi kalo untung?" kata anak-anak. 

Ohiya, di balik ini semua... Gue selalu meyakini kalau semua pelaku bekerja dan berkarya selalu dengan cinta, setulus hati Cinta terhadap Rangga, namun sampai kapan semuanya terus dibayar dengan tepuk tangan dan hura-hura sesaat? 

Ahhh... andai saja kita semua dikaruniai modal seperti Al, El, Dul—punya bokap seorang Ahmad Dhani.

Rabu, 15 Mei 2024

Tentang Musik dan Kenangannya: Benarkah Hidup Butuh 'soundtrack'?

   

  


     Bayangin ini: lu berada di Synchronize Festival, lu berjalan dari arah Lake Stage menuju District Stage. Di tengah lorong besar itu, dari Kaleng Kerupuk, terdengar lantunan lagu yang sudah bertahun - tahun nggak pernah lu dengar lagi. Bukannya lanjut berjalan ke District Stage, kuping lu malah menghanyutkan diri lu ke memori di saat pertama kali lu denger lagu tersebut. Dari sini, kita sadar bahwa musik gak sekedar untuk goofing and having a good time around. Tapi bisa juga untuk menghanyutkan emosi dan mengungkit kembali memori. 


    Selalu teringat di sela - sela kepala gue, bagaimana musik selalu mengisi setiap part di kehidupan gue. Ibarat film yang hampir tiap scene punya mood dan soundtrack-nya masing - masing, begitulah hidup (atleast hidup gue). Memiliki kenangan tersendiri terhadap musik selalu menjadi bagian yang romantis dalam hidup. Entah, musik secara gak langsung telah menjadi memory card eksternal di hidup gue. Pengalaman sedih, senang, bingung, bahkan pengalaman yang kayak tai-pun selalu punya bagian musiknya masing - masing. Yang bikin sedih dan senang sekaligus adalah, kapanpun lu dengar musik tersebut, lu langsung teringat dan terfokus pada kejadian saat musik itu pertama kali tersimpan di sudut - sudut otak lu sebagai soundtrack-nya, seperti yang gue bilang di atas. Layaknya teman yang 'come and go' begitupula musik yang telah nemenin lu mungkin dari umur lu masih 17 tahun, atau mungkin saat lu masih seumuran pohon jagung itu.


     Terekam jelas di bagian dalam otak gue, bagaimana 'Paint it in Black by The Rolling Stones' selalu mengingatkan gue kepada momen berangkat ke sekolah saat umur 5 tahun, pagi hari, mengenakan seragam TKIT Gema Nurani, di jalan sekitaran Tarumajaya menuju arah Pejuang, Bekasi Utara. Selalu terbayang juga gimana serunya kedongkolan perjalanan berangkat ke tempat unpaid internship gue di senin pagi sambil meneriaki lirik Swellow yang berbunyi "Ingin segera pulang, Kurindu tempatku bersandar...". Mungkin lu semua juga bisa ingat dengan jelas bagaimana Sunday Best by The Surfaces menjadi soundtrack di awal masa pandemi?


     Lalu kenapa gue, lu, teman lu, kakak lu, atau kita semua bisa ingat dengan memori - memori tersebut yang bahkan kejadiannya sudah terjadi hampir seperempat abad lalu? apakah kita sengaja menghafalnya di dalam otak? apakah ada niatan untuk selalu mengingat memori tersebut? nope. Karena faktanya, semua orang memiliki gaya mengingat secara auditori dan bersamaan dengan fakta bahwa: musik dapat mempengaruhi mood. Musik atau alunan lagu dapat membuat otak mengingat sesuatu karena musik tersebut membantu untuk meningkatkan efisiensi belajar dan mengingat, dan itulah yang biasa disebut dengan music-evoked autobiographical memory. Bahasa awamnya sih sekedar memori yang tercipta secara tidak sengaja oleh musik. Kenapa? Karena musik berpengaruh besar dalam peningkatan emosi dan konsentrasi manusia, hal itu terjadi karena adanya penurunan gelombang otak menjadi gelombang alfa, bersamaan dengan merangsang pelepasan endorfin dan serotonin. 


    Hal diatas bukan sekedar cuitan Anabel alias analisa gembel, karena pernah dilakukan penelitian tentang koneksi antara musik dan kenangannya oleh Schulkind, Hennis, dan Rubin (1999). Lagu atau musik ternyata mempunyai ikatan terhadap emosi khusus yang dapat membangkitkan memorinya. Contohnya? ketika lu mendengar salah satu lagu kesukaan lu, on the spur of the moment diri lu punya keahlian untuk mengingat setiap detail kejadian yang terjadi saat pertama kali lu mendengarkannya.



    Lalu, Secara harfiah soundtrack berarti potongan rekaman audio/musik yang disinkronisasi dengan gambar - gambar untuk mengiringi jalannya film, game, buku, atau acara televisi. Imagine your life as a movie being recorded, with yourself as the main character: Apakah lu rela film yang sedang lu garap ini hanya berisi dialog-konflik-klimaks tanpa adanya sentuhan soundtrack yang mengisi di belakang? tanpa adanya musik yang secara gak langsung menuangkan bumbu - bumbu emosi? Bisa dibilang, hampir semua adegan kehidupan bisa banget dibalut dan dibuat makin josss dengan adanya sentuhan musik. Mungkin lu gak sadar karena terkadang alunan lagu memang terkesan 'Yaudah aja' dan terasa seperti bagaimana mestinya aja, tapi... lu pasti ingat bagaimana sentuhan kecil musik dalam radio mobil bisa mengusir gabut, membuat perjalanan terasa '5 menit doang', bahkan meningkatkan fokus dalam berkendara. Lu juga pasti inget bagaimana sentuhan kecil musik bisa bikin dirilu yang sedang art block tiba-tiba dapat inspirasi dan merasa terpacu kreativitasnya. Hasilnya? Kerjaan jadi lancar, bukan? Atau bahkan sesepele sentuhan kecil musik bebop, liquid DnB, atau folk dapat membantu tubuh dan pikiran untuk rileks. Hasilnya? Minggu sore lu jadi lebih terasa santai dan relax.


    Bahkan, kita semua bisa dengan mudah menunjukan, mengekspresikan diri, menggambarkan, dan membuat personal branding di media sosial hanya dengan sentuhan musik. Semudah, ada lagu yang lu sisipkan di post Instagram lu! Begitupun jika lu masih mencari jati diri, dengan musik yang dijadikan soundtrack kehidupan ini, kalian-kalian juga bisa dengan mudah mencari jati diri melalui perjalanan dan musik. Seperti roti dan selai, bunga dan kumbang, romeo dan juliet. beberapa hal dalam hidup, memang ditakdirkan untuk selalu bersama. 


  

    Lalu, benarkah hidup butuh soundtrack?


    Think about it.


Rabu, 15 November 2023

BAJU AING, KUMAHA AING!!!


 Emang sebenarnya sudah beberapa tahun belakangan gue perhatiin fenomena ini, yaitu di mana baju band mulai menjadi salah satu alternatif fashion yang digandrungi anak muda. Apalagi untuk remaja - remaja yang biasa nongkrong di toko kopi daerah Jakarta Selatan bersama pacarnya yang menunggangi Vespa matic keluaran terbaru atau mungkin, hal ini juga menjadi salah satu cara para penikmat musik untuk mendukung band kesukaannya dengan gak melulu harus beli rekaman fisiknya. Sebagai salah satu orang yang mendengarkan musik di setiap harinya, gue cukup senang dengan fenomena ini. Dari sini kita semua bisa lihat kalau beli merch band itu gak sesusah dulu, yang setidaknya harus menyambangi toko musik terdekat atau kalau mau lebih effort dan nguliknya enak, bisa langsung datang ke Pasar Santa atau Blok M. 


Yang jadi sorotan gue berikutnya adalah beberapa kali gue lihat konten TikTok yang ngewawancara orang random tentang baju band yang kebetulan sedang ia kenakan saat itu. Namun, ketika ditanyain tentang lagu atau band tersebut tidak jarang dari mereka yang malah tidak tau dengan band tersebut. Tenang gila... Gue bukan mau gatekeeping atau menjadi si paling musik di sini. Di sisi lain, gue malah senang makin banyak orang yang mau beli baju band karena yaaa secara gak langsung itu adalah cara support ke musisi tersebut (asal lo belinya gak bootleg ya!)


Kalo lu perhatiin, sebelum zaman semudah ini. Maraknya baju band tuh cuma bakal keliatan di festival, acara musik underground, di salah satu lorong kampus yang isinya abang - abang kalcer, atau di lemari bokap yang kebetulan dulu pas muda ngulik Iwan Fals dan Slank. Tapi sekarang? hampir di setiap sudut! Mau real life ataupun dunia maya pasti beberapa kali lu nge-spot orang yang menggunakan baju band, seperti sekarang juga sudah mulai banyak cewek - cewek pergi ke mall dengan baju band favorit mereka lalu ditambah dengan loose fit jeans dan sneakers, lalu di kampus juga semakin banyak yang menggunakan baju band, apalagi dengan kita sedang berada di zaman yang kalo ngantor lu boleh pakai kaos dan pasti merchandise band merupakan salah satu seragam wajib kerja kalian untuk nunjukin “playlist spotify” lu secara gak langsung. Bahkan di tiktok atau instagram pasti lu semua gak jarang bukan melihat orang mengenakan baju band?


Orang - orang yang menggunakan baju band juga sekarang semakin variatif, mungkin sebagian besar memang kita yang berada di usia 20 - 40an yang mana sedang gemar gemarnya beli baju band dan memakainya. Tapi, pernah gak lu ngeliat anak balita udah memakai baju band cadas seperti Koil, Turtles. JR, bahkan Death Vomit? Fenomena ini beberapa kali gue liat dengan mata kepala gue sendiri, biasanya nih hasil pemberian dari orang terdekat si orang tua atau yaaa siapa lagi pelakunya kalo bukan karena si bapaknya yang gila musik berisik? Pernah juga gue liat postingan random di twitter ada keluarga foto bareng dengan merch Deadsquad di badan, ini salah satu tanda bahwa yang menggunakan merch band makin rame, masuk ke semua umur, dan baju band ini udah gak segmented lagi menurut gue. SEMUA BOLEH PAKAI!



Lagipula, ada banyak faktor kenapa orang yang gak musik banget kayak lo ini bisa tiba-tiba mengenakan baju band. Misal, beli karena segi artwork, warna dasar baju, ukuran size yang emang pas banget di badan, atau hasil pemberian seseorang. Emang kenapa sih orang sekedar beli tanpa tau satu album bandnya, siapa nama guitarist-nya, di mana SD si vokalis, apa hobi ibu sang drummer, sampai ukuran sepatu sang keyboardist?


Yang unik dari baju band juga, hampir semua band itu mengeluarkan merch t-shirt dengan pattern genre musik mereka, iya gak sih? Sebagai contohnya, baju band shoegaze seperti Enola, Enamore, atau Car Crash Coma, yang garis besarnya pasti ada font besar menonjol di daerah dada, lalu di bawahnya ditempel gambar atau grafis tertentu yang menceritakan tentang merch itu, entah cover albumnya, atau apalah itu gue kurang paham.


Lalu, baju band metal. Yang pertama wajib warna hitam, kedua font ‘akar pohon kelapa’, ditambah sedikit gambar seram ciri khas band metal. Band indie-pop, mengeluarkan merch dengan ciri khasnya mereka juga yang mana belakangan ini gue sering lihat baju band dengan warna dasar biru, hijau, pink, atau merah maroon. Gak melulu hitam, putih, atau biru dongker kayak dulu. Disamping ini semua, banyak juga band yang mengeluarkan edisi hoodie, dan crewneck.


Tapi yang gue sebel emang ya, kadang gue nemu band lokal yang kualitas merch-nya tuh ya terkesan "asal cetak". Walaupun gue juga ngerti kalo 'Ada harga, ada kualitas', tapi mungkin tulisan gue ini bisa juga jadi bahan masukan untuk para abang - abang yang baru aja mau produksi merch band-nya masing - masing.


Di sisi lain, gue emang selalu meraba - raba fenomena ini dengan gaya analisis gembel gue sendiri. Kalau dulu ada frasa “mulutmu harimaumu.” pophariini mengeluarkan artikel berjudul “spotify playlistmu, harimaumu.” mungkin frasa ini juga bisa diterapkan ke “baju bandmu, harimaumu.” karena secara gak langsung lu semua pasti bisa langsung nilai gimana kepribadian orang itu atau selera musik orang itu hanya dengan satu tatapan ke baju band yang ia kenakan, kalau di ilmu komunikasi hal ini disebutnya teori komunikasi non-verbal.


Gue sendiri, sebagai orang yang selalu menyisihkan gaji untuk #JajanRock memang seperti ada pride tersendiri ketika menggunakan baju band kesukaan, sama seperti lu yang doyan otomotif dan merasa ada pride tersendiri kalau menggunakan kendaraan kesukaan lu, atau sama seperti sneakerhead diluar sana yang bangga sekali memamerkan air jordan keluaran terbarunya. Ini semua kembali ke segment dan menurut gue fine - fine aja untuk orang membeli baju band tanpa tau dulu itu band apa. Setuju? Mungkin, setelah itu dia jadi ngulik tentang bandnya.


Kalo ditarik ke awal, apa baju band pertama lu?


Rabu, 13 April 2022

Joyland Festival di tiga hari itu




Bali, festival, musik, teman, kebahagiaan, teriakan, kerinduan, makanan, arak, beer, tawa canda, film, dansa, dan senyuman jadi satu di Joyland Festival yang menghiasi tanah Taman Bhagawan, Nusa Dua dalam tiga hari itu. Langit cerah pinggir pantai itu menandakan pesta siap digelar.

 

DAY – 1

“Ah, ini dia!” gumam gue dalam hati sambil mengambil nafas dalam – dalam dan senyum tipis dari balik masker saat pertama kali gue menginjakkan kaki di dalam area venue, apalagi dengan suara intro The Panturas yang memanggil – manggil dari kejauhan. Huh, ternyata segitu rindunya ya gue sama festival musik di Indonesia. Kapan lagi nonton band Surf Rock asal tanah priangan langsung di bibir pantai? Aksi gemilang mereka mampu membakar kerinduan penduduk Joyland saat itu yang kupingnya sudah lama tidak ditendang dengan suara musik dari sound system yang megah. Dilanjut dengan anggunnya Yura Yunita dengan membawakan hitsnya di atas Joyland Stage, lalu kehadiran bapak Jokowi, Luhut, dan beberapa orang penting lainnya mengejutkan kita semua saat Yura Yunita bermain di atas panggung.

 

Penampilan dari Agrikultur X Rock And Roll Mafia juga cukup membuat orang berdansa kecil di sore hari walaupun gue yakin banyak juga yang belum pernah dengar dua band ini sebelumnya. Tapi, keseruan mereka di atas panggung berhasil menulari kita semua yang ada di bawah.  Panggung yang dibuka dengan suara Fluxcup, Danilla menandakan akan membawakan album teranyar-nya, Pop Seblay! Pembawaan Danilla malam itu memang ngehe banget, apalagi ditambah dengan guyon – guyon yang menyenggol tentang percintaan dan cat calling. Semua berjalan dengan seru dan menyenangkan sampai akhirnya gak berasa hari itu sampai di jamnya band abang – abangan dari IKJ, White Shoes & the Couples Company. Acara pun diakhiri dengan encore yang diamini oleh WSATCC dan Panitia Joyland. Malam itu selesai sudah dengan bahagia dan kepuasan pengunjung.   


DAY – 2

“Selamat datang di mantra – mantra live.” Sapa Kunto Aji yang membuka perhelatan di hari kedua, ia juga mengakui kalau dirinya sedikit gugup karena sudah lama tidak bertemu dengan vibe yang seperti ini, Di hari ini gue pun gak melihat adanya semangat yang redup, malahan pengunjung yang makin memadati setiap penjuru venue Joyland Festival ini. Dilanjut dengan rapper/fashionista/musisi/Medanese, BasBoi! Tak hentinya ia mengucapkan terima kasih kepada Joyland dan rakyatnya karena ini merupakan panggung festival pertamanya selama ia berkecimpung di dunia tarik suara.

 

Hari kedua ini memang sangat menarik, karena selain adanya BasBoi, Joyland juga menyuguhkan Raisa di antara Senyawa, The Sigit, dan The Adams. Tapi yang paling menarik perhatian adalah Senyawa, band asal kota Yogyakarta ini cukup membuat terkesima penonton Joyland yang mungking awam dengan musik eksperimental. Dengan instrument musiknya yang ia ciptakan sendiri, vokal echo dan terkesan dark, beat yang tidak melulu 4/4, dan suguhan yang lainnya, terpantau penduduk joyland sangat menikmati sambil tiduran dan menghadap langit, joget kecil kecil dibalik pohon sambil memegang segelas beer, bahkan ada yang joget dengan kekuatan maksimal seperti kuda yang dilepas pawangnya.

 

Lalu seperti biasa, The Sigit mampu menaikan hormon - hormon testosterone pengunjung festival. Awalnya gue sempet ragu, bakal berubah liar gak ya penonton saat dengar conundrum dari The Sigit nanti? Apalagi ini acara yang nyantai banget konsepnya. Ternyata keraguan gue terbantah langsung di lagu pertama, banyak juga pemuda yang ikut crowd diving dibarengi dengan lick gitar yang suaranya renyah banget di kuping.

 Setelah itu ada Raisa yang cantik, anggun, suaranya bagus, kurang apalagi? Iya, kurang lama untuk tampil di Joyland. Teriakan cewek – cewek yang tidak puas menutup panggung Raisa, menurut mereka Raisa terlalu cepat untuk turun panggung. Tapi apa daya? Stage Manager udah keliatan menggerutu dari kejauhan. Berbarengan dengan turunnya Raisa, gue geser ke tempat paling underground di venue Joyland Festival, Ambruk Stage! Ada MTAD asal kota Solo yang engga tau lagi ngapain di sana, pokoknya mereka bikin Ambruk Stage cukup susah buat ambil nafas.

 

Selesai nyari keringet di Ambruk Stage, gue keluar nyari udara segar khas pinggir pantai sambil ditemenin Marshel Widianto yang lagi cerita tentang sakitnya pantat dia pas ketembak bidet toilet. Sampai akhirnya yang gue tunggu pun keluar, The Adams! Crowd penuh dari depan sampai belakang demi nonton Ale cs. Pelantur menjadi lagu pembuka panggung mereka, menurut gue ini emang lagu yang cocok buat naikin semangat penonton yang abis ketawa sampai lemes karena Marshel tadi, apalagi dengan intro lagu tersebut yang khas banget. Hingga akhirnya konservatif menjadi lagu terakhir panggung mereka, lalu tebakan gue bahwa rakyat Joyland Festival mayoritas berasal dari Jakarta makin kuat saat semua teriak menyanyikan part “Dan angin sedang kencang kencang berhembus…. DI JAKARTAAA~”. Sayangnya permintaan encore dari penonton kali ini tidak diiyakan oleh panitia. Sebel sih, tapi kita semua tetap pulang dengan senyuman karena udah seharian dibikin joget, nyanyi dan seru – seruan di Joyland.

 


DAY – 3

            Nah ini dia, hari yang bakal klimaks banget tapi bakal sedih banget juga. Rasa campur aduk kayak gini udah gue rasain mulai dari pagi hari saat gue membuka mata di kamar hotel. Hari ini waktunya Bedchamber yang membocorkan semangat di sore hari terakhir itu, gak lupa mereka membawakan nomor bertajuk tired eyes, single paling baru yang dikeluarkan melalui La Munai records. Disusul dengan Grrrl Gang di stage yang sama, dua punggawa indie pop ternama ini berhasil menarik pengunjung untuk bernyanyi dan lompat lompat walaupun matahari bisa dibilang masih terik sekali sore itu.

           

 Ketika jam menunjukan pukul 18.00 WITA, saatnya Soulfood sebagai tuan rumah unjuk gigi dengan materinya yang adem banget, apalagi dengan tambahan 3 backing vokal yang bikin set mereka makin nyala. Lalu matahari perlahan tenggelam dan suasana makin gelap, Isyana Sarasvati muncul dari belakang panggung diikuti oleh para pemain additional-nya, semuanya berpakaian serba hitam, gue tau persis kalau isyana bakal coba menggaungkan album Lexicon di set ini. Album yang bertolak belakang dengan persona Isyana yang selama ini dia tuturkan lewat karya – karya manis sebelumnya, gue bertanya dalam hati apakah penonton Isyana Sarasvati yang mayoritas perempuan ini dapat menikmati set album terbarunya? Ternyata dugaan gue meleset, berjibun penonton terlihat menikmati aksi panggung Isyana, bahkan gak sedikit penonton yang ikut bernyanyi di judul Il Sogno dan Untuk Hati Yang Terluka.



Kalau bisa dibilang, hari terakhir nih emang ‘cewek’ banget. Karena diisi dengan musisi yang pasti absen di playlist Spotify para cewek, contohnya seperti Grrrl Gang, Isyana Sarasvati, Maliq & D’essentials sampai Pamungkas. Saat Maliq & D’essentials dan Pamungkas naik panggung, gue sedikit geser ke sebelah pojok kiri venue karena di situ ada booth Guiness Smooth yang saat itu lagi diambil alih oleh WSATCC, Rio Faraby terpantau dari kejauhan sedang memandu karaoke bareng rakyat Joyland Festival yang gak ikut nonton dua band tersebut. The Cure, Morrissey dan kawan kawannya menjadi anthem di pojokan ini, gak heran kenapa banyak banget cowok yang ikut nyanyi nyanyi di sini.

Sayangnya DJ Booth Guinness ini bubar karena hujan tiba tiba dateng dan buat turntable basah, gue pun bergegas masuk ke Ambruk Stage buat neduh dan ngasih makan guilty pleasure gue. Betul, gue nyamperin musisi organ tunggal asal medan, Herman Barus! Semua orang dibikin keringetan dan joget macem pemuda pemudi yang haus akan genjotan dari beat beat menggelikan, kapan lagi bisa nikmatin musik modelan gini tanpa merasa malu dan kena bully polisi skena bukan?

Saat gue intip, ternyata di luar hujan makin deras dan Diskoria baru aja memutar track pertamanya. Persis seperti tebakan gue, hujan gak bakal bisa menghentikan rakyat Joyland Festival untuk bergoyang dan bersenang senang. Semua berkumpul di hadapan stage utama dengan diguyur hujan deras. Apa itu masuk angin? Apa itu gadget kena air? Kelihatannya gak ada yang peduli akan dua hal tersebut, semua orang hanya bisa terus joget dibarengi dengan lagu lagu hasil remix Diskoria walaupun balik dengan keadaan kuyup dan paha ke bawah kotor macem pengunjung Woodstock tahun 60an itu.

Hujan, dansa, senyum, dan nyanyian menghiasi detik – detik terakhir Joyland Festival, bukan hal mudah untuk dilupakan. Saking serunya, gue bahkan sempat bingung mau nulis apa karena susahnya dijelaskan betapa serunya Joyland di tiga hari itu. Terakhir, gue berharap kedepannya makin banyak festival yang berani nampakin batang hidungnya lagi, karena kita kangen banget gak sih sama yang beginian? Setelah Joyland Festival, selanjutnya apa?

 


Jumat, 31 Desember 2021

Akhir tahun ini oke juga, ya?

 



Sial, gue terpaksa banget memulai hari senin tanggal 13 Desember 2021 dengan badan yang pegel-pegel kayak abis gendong orang buat crowd surfing dan  kepala yang masih pusing, kalau kata anak tongkrongan mah “basian kemaren”. Tapi emang bener, gue kemaren banget tanggal 12 desember 2021 baru aja hadir di pagelaran gigs kecil di Fat Studio, Cibubur. Bingar (@bin666ar on IG) merupakan kolektif yang ada dibalik suksesnya acara kecil kemaren. Kalo bisa dibilang mah acara kemarin kecil kecil cabe rawit! Kecil, intimate, seru, dan nampol jadi satu.

 

Seakan kembali dateng ke rumah masa kecil gue yang udah lama gue tinggalin, gue dateng dengan malu tapi dalam hati menggebu karena excited.  Mata gue tertuju ke semua arah, ngeliat keramaian yang dulu merupakan hal wajar di setiap akhir pekan, kalau sekarang? Berasa juga canggungnya dateng ke acara musik saat ini, atau mungkin butuh penyesuaian sedikit? Hahaha! Akhirnya, gue bisa kembali ngerasain bau apeknya badan mas – mas, ketawa riuh orang dari tiap sudut venue, abang – abang berkaos band shoegaze yang lagi berdiri sambil megang botol aqua tapi airnya warna hitam, mba – mba dengan gaya trendy yang singalong karena salah satu performers bawain lagu kesukaannya, dan bisa ngeliat band seru dari berbagai daerah secara langsung.

 

Sebegitu kagetnya gue saat feedback dari amplifier terdengar nyaring yang tiba – tiba nusuk telinga gue, “Udah lama nih gak ketemu yang nusuk – nusuk kuping kayak gini.” Gumam gue dalam hati. Ngeliat para awak band yang nyiapin ‘senjata’ mereka masing – masing tanpa bantuan kru emang hal yang seharusnya biasa banget diliat saat lu dateng ke acara musik kecil. Tapi, saat ini seakan jadi first time buat gue hahahaha gue kangen banget hal – hal kayak gini!

 

Selain itu, hal hal kecil kayak foto atau instastory riuhnya acara, bawa intisari dari luar, video temen lu muntah di parkiran atau bahkan di venue, kenalan sama temen baru, kesundut bara rokok mas – mas yang lagi moshing, disodorin mic sama si vocalis supaya kita ikut nyanyi, jadi kenangan tersendiri yang udah gue kubur dalem karena gak tau kapan lagi bisa kejadian kayak gitu tapi akhirnya berhasil gue bawa lagi ke permukaan secara spontan kemarin.

 

Ini kali kedua gue dateng ke acara musik sejak digelarnya pandemi di Indonesia. Huh, penantian panjang setelah terakhir kali gue dateng acara kayak gini bulan maret 2020 lalu terbayar sudah, gue udah bisa tidur dengan nyenyak malam itu. Sedikit demi sedikit grup kolektifan berani keluar dari goa setelah tidur panjang. Acara pertama yang gue datengin adalah Santai Sore di Twin House Blok M, dibuka dengan Caste band pop gokil dari jakarta yang kebetulan drummernya tuh temen kampus gue sendiri. Acara tersebut cukup santai buat sore yang teduh, sayangnya venue outdoor berbarengan dengan gak bersahabatnya cuaca saat itu bikin kita keguyur sedikit rintik hujan yang kalo didiemin aja bakal jadi demam dan penyebab gak masuk kerja esok hari. Tapi, dari sekian banyak gigs dan pagelaran musik yang udah mulai muncul di negara kita ini, acara musik di bali, bandung, dan jogja menjadi yang paling keliatan bermunculan belakangan ini dan udah banyak banget yang berani nampakin diri, sayangnya di Jakarta masih jarang banget ada karena yaaa mau gimana lagi ibukota selalu jadi sorotan publik.

 

Saat tulisan ini dibuat setidaknya ada tiga acara musik yang digelar di sekitar Jakarta, yang pertama adalah acara dari necros record di Depok. Kebetulan mereka bakal bawa Total Jerks, SpeedX dan Arc Yellow sebagai sang penampil di sana. Lalu yang satunya ada di pantai Carita, banten. Acara bertema surf ini emang woyo banget buat didatengin mereka menggaet komunitas bmx, skateboard dan surfing untuk ke acara itu. Di hari yang sama juga ada holy market, semacam pasar dadakan yang diadakan di Gudskul tapi gak hanya pasar di situ, ada band dan musisi asoy yang nemenin waktu lu belanja itu. Yup, ada Rub of Rub band psychedelic-dub, swellow, dan yang bikin gemes adalah Pijar Cakrawala anak dari Jimi Multazam, jagernya The Upstairs ikut tampil di sana. Kurang gokil apa lagi coba tuh?

 

Desember 2021 ini emang lumayan asik sih dibandingkan desember 2020 kemarin, saat kita semua cuma bisa berharap dan ngeraba - raba kapan ya bisa ada lagi acara musik? Kapan ya sendi - sendi ini dihajar beat musik? Dan kapan ya gue bisa minum intisari lagi di gigs kecil? Tapi, kira – kira 2022 atau bahkan 2023 bakal ada apa ya? The Strokes, Snail Mail, dan Bombay Bicycle Club mampir ke Indonesia dalam rangkaian tur album baru mungkin? Ah, kalo mimpi gak boleh ketinggian angga.

Kamis, 31 Desember 2020

Rilisan paling oke di tahun ini

 




Kalau gua membahas tentang 2020 adalah tahun yang sangat membosankan dengan segala lika liku dan hal menyebalkan lainnya bahasan ini pasti tidak akan selesai dengan cepat, mungkin akan selesai dalam satu minggu kedepan. Oleh karena itu gua hanya akan menulis salah satu hal yang paling membuat gua senang di tahun ini, yaitu musik.

 

Tahun ini bisa dibilang tahun paling produktifnya musisi musisi dunia, bagaimana engga? Yang biasanya mereka harus manggung keliling kota tahun ini mereka dipaksa diam di rumah, lalu mereka mencari kesibukan dengan yaaa apalagi kalau bukan membuat lagu atau album baru seperti musisi pada umumnya?

 

Seperti media musik dan jurnalis musik lainnya, gua juga akan ikut serta memberikan beberapa rilisan paling oke setahun ini versi gua sendiri

 

1.   Romantic Echoes – Menutup Mata Untuk Melihat Dunia



Menutup Mata Untuk Melihat Dunia. Single ini dibuat untuk menutup album perdana dari Romantic Echoes yang rilis pada bulan Juni lalu, lagu yang berdurasi 9 menit ini akan membawa kalian pada emosi yang dibuat naik turun, dengan sentuhan ala baroque pop dan pop tahun 80an. Penulisan lirik yang terkesan sederhana juga membuat lagu ini seakan akan adalah lagu rilisan tahun 80 tapi dengan musik yang lebih kompleks. Seperti yang gua bilang diawal kalau emosi lu akan dibuat naik turun, pada menit 6.15 musiknya akan mulai perlahan up beat dan akan membuat lu semua goyang kecil kecil.

2.   Oslo Ibrahim – Makasih



Bayangin ada seorang artis yang menang sebuah award di TV dan sedang memberi pidato dan ucapan terima kasih tapi diiringi oleh melodi yang funky, nah lagu ini persis seperti itu. Gua-pun kaget awalnya saat dengar lagu ini, walaupun masih pada gambaran seorang Oslo Ibrahim yang terkesan melankolis dan Eye Catching.

3.   Sajama Cut – Godsigma



Siapa coba yang tidak jatuh cinta dengan album baru band “senior” ini? Saat pertama gua denger album ini gua langsung jatuh cinta sama track pertamanya yaitu “Adegan Ranjang 1981 1982” lagu ini diawali dengan rhytm gitar yang simple lalu disusul dengan bass dan drum yang masuk barengan berhasil membuat kuping gua basah saat itu. Kalau kita ngomongin masalah lirik, kayaknya Sajama Cut udah cocok buat panutan penulisan lirik buat kalian kalian semua yang baru akan memulai bermusik.

4.   Skandal – Percuma



Band alternatif rock dari Yogyakarta ini baru saja merilis single terbaru mereka yang judulnya “Percuma” tapi walau lagu ini judulnya “Percuma” isi lagunya sangat layak diapresiasi karena ini lagu enak banget bro asli. Pemilihan artwork single yang terkesan gemes ini juga sangat jauh dengan lagu ini yang dari awal aja kuping lu semua udah digembleng oleh suara distorsi gitar.

5.   Atsea ft. Nina Joon – Years 2 Keep



Band projectan Omar Prazhari yang terbentuk di Kanada ini baru aja mengeluarkan single terbaru mereka tapi kali ini mereka engga sendiri karena mereka ditemani oleh Nina Joon yang ikut bantu mengisi vokal dengan suaranya yang asik banget diterima oleh kuping. Masih dengan nuansa indie pop, kali ini Atsea membuat lagu yang sedikit pelan dan mellow. Lagu ini cocok banget buat nemenin kalian nugas ditengah malam sambil santai kecil kecil, gak heran gua berani taruh lagu ini didalam artikel ini.

6.   Fuzzy, I – Wingbender



Bisa dibilang band ini salah satu band paling produktif di tahun yang gelap ini, gimana engga? Band ini ngeluarin lima single dalam kurun 1 tahun ini tapi yang paling memanggil kuping menurut gua ya lagu yang satu ini. Wingbender, diawali oleh suara synthesizer yang futuristik lalu disambut secara tiba tiba oleh drum roll dan kemudian ditambah bass line yang groovy ini membuat gua seketika terdiam dan cuma bisa nikmatin sejenak lagu berdurasi 3 menit ini.

7.   Horse Planet Police Departement – Enter Music



Setelah mereka “mencicil” rilisan single demi single selama setahun ini, akhirnya album perdana dari band electronic yang berdiri di Jakarta ini resmi rilis akhir November lalu. Yang membuat beda adalah album ini dibuka dengan suara gitar akustik dan nyanyian syahdu yang dinyanyikan oleh beberapa orang tapi masih dengan warna HPPD yang selalu membuat ambience dan beat santai, album ini sukses memikat hati gua semenjak pertama kali dengar. Dari 12 track yang tersusun di album ini gua paling tertarik dengan judul “Myth Mind Molecules”.

8.   The Dare – 7.0



Terinspirasi dari bencana gempa bumi yang terjadi di Lombok pada tahun 2018 lalu, band berisikan 4 srikandi Lombok menceritakan pengalamannya saat gempa lewat lagu ini, dimana orang orang panik, lupa akan semuanya, dan hanya bisa terdiam sambil menanti ajal bagai pion catur yang hendak dimainkan. Gak heran kenapa di intro lagu ini akan ada suara gemuruh dan teriakan perempuan.

9.   Goodnight Electric – Misteria



Cukup naif rasanya jika gua gak masukin album ini ke daftar rilisan paling oke tahun ini. Album ini cukup baru buat kuping gua sebagai orang yang dengerin musiknya Goodnight Electric. semenjak kedatangan dua anggota baru ke dalam band musiknya makin bervariasi yang juga menambah warna baru di band senior satu ini yang gak akan lepas dari warna futuristik dan elektro. Gak cuma musik yang baru, penulisan liriknya pun berbeda dengan rilisan sebelumnya.


sebenernya masih banyak banget yang mau gua tambahin disini karena ya gimana engga? tahun ini banyak banget musisi lokal yang ngeluarin rilisan baru, mulai dari band senior maupun musisi musisi yang baru aja dateng ke skena musik indonesia ini. mungkin beberapa rilisan paling oke versi gua ini bisa nemenin lu saat sehari hari esok!

Rabu, 18 November 2020

Wednesday madness playlist by Gusti Erlangga #2: Musik untuk tumbuhan dan hidupmu



    Jika lu semua perhatiin belakangan ini banyak banget orang berlomba lomba menjadi M. Fadly dengan sepedanya atau menjadi Gordon Ramsay dengan masakannya. Tapi, gak sedikit juga yang berlomba menjadi Boris Fedtschenko dengan kebunnya dan apakah lu pernah denger kalo ada kajian ilmiah bahwa jika kita mainkan musik ke tanaman yang kita pelihara akan meningkatkan efisiensi serapan cahaya matahari dan melakukan fotosintesis. Oleh karena itu gua pilih beberapa lagu yang cocok banget buat lu dan tanaman lu denger dikala lu sedang berkebun.

 

1.      Ana roxane – immortality

2.      Penguin cafĂ© orchestra – perpetuum mobile

3.      Meitei – sankai

4.      Green-house – peperomia seedling

5.      Green-house – Xylem

                            6.      Mort garson – plantasia

7.      Cluster – Ho renomo

8.      Jean Jacques perrey – brazillian flower

9.      Quantic – the orchard

10.  Susumu Yokota - The plateau which the zephyr of flora occupies