Malam itu hujan datang dengan slengean, kota Jakarta yang seharusnya lebih panas dari komentar netizen TikTok tiba-tiba berubah jadi lebih dingin dari AC di Vol Bottlebar pukul 1 pagi. Hawa dingin dan sebotol intisari yang sisa empat kali tegukkan itu membanjiri gue pada keresahan yang jadi dilema bagi semua pegelut skena musik di Indonesia, khususnya di Jakarta dan Bekasi. Yaitu kenapa rasanya scene underground lokal selalu kepentok budget!
Gak cuma satu, dua, tiga, atau berapa belas kali gue dateng ke gigs lokal. Datang sebagai penampil atau penonton, terkesima dengan produksian kawan-kawan. Berhasil menghadirkan output suara lean and clean, ornamen panggung yang catchy, dan tetek-bengek lainnya. Line up pengisi gak asal comot, band-band fresh (yang tentunya bagus) ikut berbagi aksi panggung. Gue gak ngomong kalau ini cuma band Jakarta-Bekasi ya, bray. Ada juga band dari luar Jabodetabek yang kadang ikut main dan meramaikan acara, datang dengan ongkos dari kantongnya sendiri. Namun, turut disayangkan penontonnya itu-itu lagi, konco lagi, dia lagi, lu lagi, dan pacar lu lagi. Akibatnya? Pemasukan sangatlah minim, band dan pergerakan kolektif ini bak kuah soto sisa kemarin malam, dingin dan tak lagi berasa. Tinggal tunggu dibuang. Tinggal tunggu dijadikan bahan bercandaan aja.
Kondisi ini kalau dijabarkan sebenernya sangat sederhana dan rumit di waktu yang bersamaan. Di mana band-band kecil seperti band gue (Vanilla Party) butuh banget exposure untuk memamerkan karya teranyarnya. Namun alangkah sial nasibku, kita malah terlihat seperti pengemis digital yang butuh panggung dan angka di Instagram. Sementara panggung yang didamba datang dua bulan sekali, layaknya promo Butterscotch Sea Salt di Fore. Masalahnya bukan karena bandnya jelek, bukan karena acaranya bobrok, bukan karena pergerakannya yang menyedihkan, tapi karena kawan-kawan penggerak kolektif kehabisan modal di awal setelah uang tiket bulan lalu lagi dan lagi gagal nutup biaya produksi. Akhirnya pergerakan ini sekarat, bahkan sudah sekarat sebelum band pertama check sound di jam 2 siang.
Namun, kalau dipikir-pikir, sebenarnya ini semua bisa disiasati dengan mengundang konco yang punya band supaya modal awalnya nol rupiah, alias gratis, tinggal plug and play. Kolektif jalan, band juga jalan, bisa mendapatkan exposure! Semua senang? Iya, di awal aja. Beberapa bulan kedepan, bandnya akan ikut mati perlahan. Sekarat. Gak punya modal untuk biaya produksi dan mixing-mastering karya berikutnya. Alah, tai anjing! Gak usah ngomongin biaya produksi karya berikutnya, modal untuk sewa studio latihan aja gak punya.
Masalah ini bukan diciptakan karena sikap idealis gue, lu, dan kita semua yang berpikir bahwa pergerakan ini akan kian terlihat kalcer jika terus dibuat eksklusif. Ini adalah masalah struktural. Nyaris mustahil untuk dirombak dari awal. Kayak... coba deh pikirin, gimana caranya nyewa venue dengan harga yang bisa dibilang sebelas-dua belas dengan harga sewa indekos di wilayah Jalan Bangka, Jakarta Selatan. Oke, anggaplah uang sewa venue udah ketutup, lalu gimana dengan produksiannya? Set drum? ampli? mixer? sepasang speaker output + subwoofer? Menurut lu, vendor terima barter exposure? terus jalan keluarnya gimana?
"Ya, kenapa ga coba pake sponsor aja pak?"
Wah, ide bagus. Belum pernah terlintas sebelumnya! Sekarang kita garap deck presentasi ke sponsor rokok dan minuman beralkohol untuk bulan depan. Setelah itu apa, bray? Sponsor mau danain acara gigs grassroots yang ga bikin profit, ga komersil, yang tujuan utamannya adalah menghidupkan skena musik underground dan band-band potensial? Bakal bagus banget kalau banyak sponsor yang emang mau bakar uang untuk naikin nama. Namun masalahnya tim marketing dan finance mereka jauh lebih pilih panggung dengan backdrop LED segede gaban untuk placement logo terbaik mereka, ketimbang sebuah set panggung mungil disela-sela ruko Pasar Santa. Sekarang balik lagi ke awal. Adakah sponsor? Adakah banyak?
Keadaan serba DIY ini sukses memaksa kita semua menjalankan acara dengan budget minim, alhasil audience menilai kalau budget minim = harga tiket juga harus minim. Bahkan yang lebih tai adalah para abang-abangan yang ngerasa memiliki privilege, ngerasa memiliki koneksi, ngearasa konco kental dengan kita, pemain band dan penyelenggara. ngerasa bahwa ini sekedar acara 'anak-anak' yang ujung-ujungnya minta tiket gratis. "Toh kalo bisa gratis, kenapa gak gratis? Kan buat anak-anak juga."
Kondisi yang berantakan seperti gigi mas Bahlil ini bikin gue, penonton lain, band kecil lain, dan kolektif lain perlahan mati. Ironis? Tentu. Semuanya jadi nyaris tenggelam di kolam yang sama, kolam yang seharusnya menjadi tempat mencari air segar untuk diminum setiap hari, minggu, atau bulannya. Padahal relasi antara band, penonton, dan penyelenggara gigs ini merupakan sebuah relasi kuat. Namun saling tarik menarik, berebut napas.
Teramat sayang, masalah struktural ini harus terus eksis di lingkungan scene musik Indonesia. Menjadi dilema. Karena hati kecil gue sangatlah yakin, spiral setan ini akan bikin para pelaku males jalanin project dan panggungan karena gak dapet pemasukan, kolektif sekarat yang akhirnya akan mati suri karena gak ada band yang bisa diundang, vocalist baru akan sibuk memamerkan karyanya di kamar mandi karena tidak punya media untuk menyalurkannya, scene yang akan berjalan gitu aja tidak ada regenerasi. Akhirnya yang naik ya itu lagi, dia lagi, yang udah punya nama lagi. Miris, tapi yaaa mau gimans?
Mari kita setuju (untuk tidak setuju). Anggaplah band-band kecil yang belum punya nama ini memang seharusnya cukup diupah menggunakan seporsi nasi padang dengan lauk 'exposure' yang sejatinya tidak begitu terang juga dari sang penyelenggara. Pertanyaan gue selanjutnya adalah: Kapan bayaran 'exposure' tidak lagi cukup untuk band itu? Apa barometernya? Listener di spotify? Followers instagram? Atau apa? Berangkat dari sini, gue malah makin bertanya-tanya, haruskah musisi/band dibayar walaupun audience-nya cuma nyentuh 15 orang yang kebetulan isinya juga masih 'anak-anak'? Atau gimana sih cara tetap menegakkan idealisme kolektif dan perjuangan scene underground yang amat jauh dari mata dan spotlight orang-orang walaupun terhimpit dengan kondisi finansial? You tell me.
Di penghujung malam itu, akhirnya intisari yang gue minum habis tanpa tersisa. Namun harapan gue terhadap scene ini akan terus menggenang. Gak usah muluk-muluk, cukup diberi kesempatan melihat movement ini hidup tanpa perlu merogoh kantong pribadi. Karena pada dasarnya semua pelaku butuh uang untuk produksi, "Balik modal aja udah alhamdulillah, apalagi kalo untung?" kata anak-anak.
Ohiya, di balik ini semua... Gue selalu meyakini kalau semua pelaku bekerja dan berkarya selalu dengan cinta, setulus hati Cinta terhadap Rangga, namun sampai kapan semuanya terus dibayar dengan tepuk tangan dan hura-hura sesaat?
Ahhh... andai saja kita semua dikaruniai modal seperti Al, El, Dul—punya bokap seorang Ahmad Dhani.